26 Maret 2008

Mom, You're My Hero

Jam tujuh pagi lewat beberapa menit. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang melewati jalanan Kota Batam yg mulus tanpa macet. Lampu lalu lintas yg menyala merah di Simpang Baloi ‘memaksa’ aku untuk berhenti sejenak, menunggu hingga nyalanya berubah menjadi hijau. Dari arah kanan seorang perempuan tua berumur 50-an melintas di depanku sambil membawa setumpuk koran. Satu demi satu pengendara mobil dan sepeda motor dihampirinya untuk menawarkan koran yg dibawanya. Dengan suaranya yg mulai serak dan kakinya yg agak pincang dia tetap bersemangat menjajakan korannya.

“Korannya, nak!” kata perempuan tua itu ketika sudah berdiri di sampingku. Aku perhatikan raut mukanya. Ah, perempuan tua itu seumuran ibuku. Aku langsung teringat Ibuku yang harus terpisah karena tuntutan pekerjaan. Rasa rindu tiba-tiba mendera. Mungkin ada yang salah dengan apa yang aku pikirkan selama ini. Selama ini aku selalu berpikir dengan mengirimkan beberapa lembar 50-ribuan cukup untuk membuat beliau senang. Selama ini aku selalu berpikir dengan menelfon sekali seminggu –itu pun terkadang lupa– cukup untuk mengobati rasa rindu beliau. Selama ini aku selalu berpikir pulang sebulan sekali atau pun setahun sekali sama saja, toh tetap bisa berkomunikasi via telefon sehingga aku lebih memilih pulang setahun sekali, pas lebaran. Alasannya klasik, supaya bisa berhemat. Itu pun hanya seminggu. Ya, seminggu.

Aku mungkin lupa. Dulu, ibu tidak pernah berpikir berhemat untuk membiayai semua keperluanku. Apapun yang aku minta selalu beliau penuhi. Berapa pun uang yang aku butuhkan, beliau tidak pernah bilang tidak ada. Walaupun aku tahu beliau terkadang kesulitan uang.

Aku mungkin lupa. Dulu, setiap pagi beliau selalu menemaniku sarapan nasi goreng kesukaanku yang sudah disiapkannya jauh sebelum aku bangun. Beliau juga tidak pernah lupa memberinya bawang goreng yang banyak karena beliau tau aku sangat menyukainya. Dengan sabar beliau menemaniku meskipun beliau sendiri tidak makan. Bahkan terkadang ketika aku malas makan, beliau menyuapiku dengan penuh kasih.

Aku mungkin lupa. Dulu, setiap hari beliau menuntun sepedaku dari gudang. Membawanya hingga ke pinggir jalan untuk kukendarai ke sekolah. Mengingatkanku supaya berhati-hati supaya tiba disekolah dengan selamat. Mengantarku dengan lambaian tangannya hingga aku menghilang dari pandangannya.

Aku mungkin lupa. Dulu, ketika cuaca dingin beliau selalu menyediakan air hangat untuk aku mandi, meskipun beliau sendiri mandi dengan air dingin. Pun ketika musim kemarau tiba dan sumber air utama di rumah tidak lagi bisa memenuhi pasokan air, beliau dengan sabar mengangkat air dari sumur di belakang rumah. Kurasakan keikhlasan itu ketika beliau tidak pernah mengusik keasyikanku bermain untuk memintaku membantunya.

Aku mungkin lupa. Dulu, Beliau selalu menjagaku ketika aku sakit, meskipun aku hampir tidak pernah peduli ketika beliau yang sakit. Ketika tanganku luka terkena pisau, tanpa berpikir panjang beliau menyedot darah yang keluar dan membalut lukanya. Pun ketika aku kena luka bakar akibat kenakalanku, tanpa jijik beliau menjilatinya karena menurut beliau itu adalah obat yang manjur. Terkadang beliau rela tidak tidur semalaman hanya untuk menjaga agar aku terbebas dari gangguan si nyamuk nakal.

Terlalu banyak. Berapa ratus lembar kertas pun tidak akan cukup untuk menuliskan semua yang telah beliau lakukan untukku. Semua beliau lakukan dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun. Sedang aku?! Apa yang telah aku lakukan untuknya?!

Di waktu senang, aku hampir tidak pernah ingat untuk membagi kesenangan itu dengannya. Jika sedang terpuruk barulah teringat kepada beliau. Menanti lembut belaian kasihnya yang sanggup menuntaskan semua sedih di hati. Yang dengan sabar dan lembut menemani isak tangis. Tanpa pernah berpikir, kepada siapa beliau akan mengadu ketika beliau sedih? Tanpa pernah berpikir, kepada siapa beliau akan berpegangan ketika sejumlah masalah menimpanya?

Di usianya yang semakin senja, aku –dan anak-anaknya yang lain– justru memilih tinggal jauh darinya. Tidak ada yang menyiapkan nasi goreng untuknya di pagi hari, atau pun sekedar menemaninya menikmati sarapan paginya. Tidak ada yang menyediakan air hangat untuk beliau mandi, atau pun sekedar membawakan air ketika musim kemarau tiba. Tidak ada yang merawat ketika beliau sakit, atau pun sekedar memijat badannya yang menurutnya semakin hari semakin gampang mengalami kelelahan.

Ibu, makhluk mulia yang pernah diciptakan oleh Allah untuk kita bagaikan sebongkah karang yang keras, yang selalu siap menerima deburan ombak sang anak, baik atau pun buruk. Sangat tepat kiranya ketika Allah menempatkan beliau sebagai orang pertama yang harus kita cintai setelah cinta kita kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya.

"… dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al Israa’ : 23)

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt!! Suara klakson yg cukup kencang mengagetkanku dari lamunan. Kulihat perempuan tua itu sudah berdiri kembali di seberang jalan. Ah, aku bahkan belum sempat membeli korannya. Terima kasih Ibu Penjaja Koran. Engkau telah memberiku semangat baru untuk berbakti kepada Ibuku tercinta. Akan kulakukan. Selagi kesempatan untuk itu masih terbentang di hadapanku.


terusin baca yuk!

24 Maret 2008

Wilkommen

Rumah lama di kompleks sebelah sedang bermasalah. Beberapa postingan yg aku buat satu bulan terakhir semuanya hilang tanpa ketahuan sebabnya. Capek mengutak-atik tanpa hasil yg jelas, akhirnya aku putuskan untuk pindah rumah ke sini.

Selamat datang di rumah baruku. Mohon maaf kalau jamuannya belum maksimal. Maklum, masih dalam tahap renovasi.


terusin baca yuk!